Prof Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), menyampaikan bahwa pemerintah menggolongkan aktivitas perkawinan paksa dan perbudakan seksual di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Dari DPR ada lima, dan pemerintah menambah dua tindak pidana yakni perkawinan paksa dan perbudakan seksual," kata Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Selasa.
Pelecehan Seksual dalam RUU TPKS
Lima usulan dari DPR yang dimasukkan ke RUU TPKS tersebut yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi dan penyiksaan seksual.
Sementara, dua tambahan dari pihak pemerintah yakni perkawinan paksa dan perbudakan seksual.
Khusus perkawinan paksa, Prof Eddy menyadari akan ada banyak pertentangan atau perdebatan yang muncul karena hal tersebut diatur atau dimasukkan ke dalam RUU TPKS.
Kemudian, untuk perbudakan seksual cakupannya akan lebih luas dari yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
BACA JUGA:
Ia menjelaskan Undang-Undang TPPO motifnya sudah pasti bermuara pada ekonomi. Sementara, dalam RUU TPKS orang yang bukan dalam konteks kepentingan ekonomi tetap bisa dijerat karena perbudakan seksual.
Terkait formulasi perbuatan pidana RUU TPKS, dibuat atau disusun oleh sumber daya manusia dari kejaksaan dan polisi yang telah berkecimpung dengan pidana kekerasan seksual.
Menunggu Pengesahan RUU TPKS
Selain itu, dalam RUU TPKS juga mengatur hal yang baru yakni pembentukan Unit Pelaksanaan Tugas Daerah Pemberdayaan dan Pelindungan Anak (UPTD PPA).
UPTD PPA yang merupakan usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) wajib dibentuk di daerah jika RUU TPKS telah sah menjadi undang-undang.
"Jadi kalau ada korban kekerasan seksual, maka ditangani oleh UPTD PPA," ujarnya.
Ikuti terus berita terkini dalam negeri dan luar negeri lainnya di VOI Sumsel. Kami selalu menyajikan berita terkini Sumatera Selatan secara lengkap.