PALEMBANG– Ada berbagai macam metode parenting yang diterapkan dalam mendidik anak. Di era digital seperti sekarang ini, pola asuh anak pun harus dilakukan dengan cara yang berbeda. Namun ternyata, jika terlalu protektif dengan setiap aktivitasnya, tentu membuat mereka tidak leluasa dalam mengembangkan keterampilan sosial maupun kemandirian. Dalam pola parenting, ini dikenal dengan helicopter parenting.
Helicopter parenting mulai dipakai untuk menyebut pola asuh orang tua pada anak-anaknya sejak 1969 dalam buku Between Parent & Teenager. Remaja yang ditampilkan dalam buku tersebut menggambarkan bahwa ibunya mengawasinya seperti helikopter. Sejak itu istilah helicopter parenting digunakan untuk merujuk pada orang tua yang terus mencoba mengawasi anak mereka dari jarak jauh setelah mereka pergi ke perguruan tinggi. Kemudian istilah tersebut dipakai meluas yang mencakup semua orang tua yang terlalu protektif.
BACA JUGA:
Orang tua helicopter dari bayi hingga anak-anak mereka menginjak pendidikan di perguruan tinggi, cenderung terlihat dalam kehidupan buah hatinya. Termasuk mengatur minat dan kegiatan anak-anaknya. Bahkan mereka menunda tujuan pribari dan aspirasi karir demi yang menurut mereka dibutuhkan anak-anak.
Orang tua yang mempraktikkan helicopter parenting cenderung mengatur dan menjadwalkan anak-anak masuk dalam kompetisi. Mereka bahkan mengatur persahabatan dan status sosial anak mereka. Tujuanya untuk menciptakan kesempatan anak-anak menurut perspektif orang tua.
Kelebihan dari pola parenting helikopter adalah mengajarkan tentang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan bersiap untuk beraktivitas. Kadang, helicopter parenting juga bermanfaat karena mengetahui betul jadwal anak-anak mereka dan di mana mereka sedang berada. Ini penting karena menjaga keamanan anak-anaknya.
Namun, orang tua yang mempraktikkan pola asuh helikopter bisa berbahaya. Pasalnya anak-anak akan merasa tercekik, tidak terbuka kesempatan personal, dan bersikap apatis. Dilansir Verywell Family, Selasa, 14 Juni, berikut kelemahan dari helicopter parenting.
Keterampilan memecahkan masalah tidak berkembang
Anak-anak dari segala usia membutuhkan keterampilan pemecahan masalah. Keterampilan ini umumnya diajarkan sejak anak berusia 5 tahun dalam mengucapkan kata-kata. Efeknya pada saat mereka menginjak remaja dewasa ketika mencari kesempatan kerja. Itu artinya, anak-anak membutuhkan keterampilan ini sepanjang hidupnya.
Namun orang tua helikopter bisa membuat keterampilan anak tak berkembang. Penyebabnya, anak-anak jadi bergantung pada orang tua yang mengurus dan mengatur seluruh aktivitasnya sehingga enggak mandiri untuk pilihan hidupnya dan pemecahan atas masalahnya sendiri.
Bergantung pada orang tua
Urusan tepat waktu, bertanggung jawab menyelesaikan tugas, hingga menyelesaikan keterampilan dasar, bisa tidak dimiliki karena anak-anak bergantung pada orang tua helikopter. Mereka tidak akan belajar sendiri bagaimana mengatur waktu hingga menyelesaikan tugas-tugasnya.
Menghalangi anak-anak belajar mengadvokasi diri
Orang tua helikopter, biasanya mengadvokasi anak-anak mereka sendiri. Sehingga anak-anak tidak berani, misalnya mengajukan pertanyaan, berbicara jika membutuhkan sesuatu, hingga mengajukan pertanyaan.
Anak-anak tidak pernah mengenal konsekuensi dari tindakan
Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Ini diajarkan orang tua ketika anak-anak mulai belajar berjalan dan terjatuh. Ketika belajar, tak apa terjatuh tetapi overprotektif melindungi mereka sehingga tak mengenal konsekuensi belajar dari luar dirinya tak akan membuatnya berdaya. Misalnya ketika mereka gagal, ketika mengenali konsekuensi akan mengenal bagaimana caranya mengatasi.
Itulah kelebihan dan kekurangan dari helicopter parenting. Sebagai orang tua, hendaknya perlu mengukur kapan perlu melindungi dan saatnya melepaskan anak-anak untuk belajar mandiri.
Ikuti terus berita dalam negeri dan luar negeri lainnya di VOI Sumsel . Kami menghadirkan berita Sumatera Selatan terkini dan terlengkap untuk Anda.