Mengenal Empty Nest Syndrome, Perasaan Sedih Orang Tua Ditinggal Anaknya Merantau atau Menikah
Ilustrasi orang tua dan anak (Violeta Stoimenova/Unsplash)

Bagikan:

PALEMBANG- Seiring berjalannya waktu, orang tua pasti akan merelakan kepergian anaknya untuk merantau atau membangun rumah tangga baru bersama pasangannya. Sindrom sarang kosong, atau dalam istilah psikologi disebut empty nest syndrome, cepat atau lambat akan dialami oleh para orang tua. Empty nest syndrome adalah rasa sedih, sepi, dan kehilangan yang dialami orang tua saat anak meninggalkan rumah, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau menikah, dilansir VOI dari Mayo Clinic, Selasa, 5 April.

Meski Anda mendorong anak untuk mandiri, namun pengalaman melepaskannya bisa menyakitkan. Anda akan melihat masa-masa mengasuhnya hingga rindu saat masih menjadi bagian hidup si kecil yang kini beranjak dewasa.

Kekhawatiran akan datang seiring dengan rasa sedih. Pertanyaan-pertanyaan seperti berhentinya anak bertahan hidup tanpa Anda, mampukah dia mengurus dirinya sendiri, kerap berseliweran di benak. Apalagi jika Anda hanya memiliki satu anak dan merasa Anda berperan penting selama ini dalam besarannya, maka kecenderungan Anda mengalami sindrom kosong lebih besar. 

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orang tua dengan empty nest syndrome akan mengalami rasa kehilangan besar sehingga memungkinkan ia rentan terhadap depresi, kecanduan alkohol, krisis identitas, hingga konflik dalam perkawinan.

Sedangkan studi terbaru menunjukkan bahwa empty nest syndrome dapat mengurangi konflik pekerjaan dan rumah tangga, serta mampu memberikan banyak manfaat bagi orang tua. Saat anak meninggalkan rumah, orang tua memiliki kesempatan untuk terhubung satu sama lain, meningkatkan kualitas pernikahan, dan menghidupkan kembali gairah yang mungkin sebelumnya tidak pernah dimiliki.

Berikut tips bagi orang tua untuk mengatasi sindrom sarang kosong karena berpisah dengan anaknya.

melakukan Penerimaan

Perbandingan waktu kepergian anak dengan pengalaman atau harapan Anda sendiri. Alih-alih, fokuslah pada apa yang dapat Anda lakukan demi keberhasilan anak saat dia harus meninggalkan rumah.

Tetap berhubungan 

Kecanggihan teknologi memudahkan Anda untuk tetap terkoneksi dengan anak meski jarang memisahkan. Pertahankan komunikasi reguler melalui telepon, chatting, atau video call. Jika jarak tak terlalu jauh, maka sempatkanlah untuk berkunjung, 

Mencari Dukungan 

Bagikan kegalauan Anda dengan keluarga atau teman-teman yang anaknya juga baru saja meninggalkan rumah. Jika Anda merasa tertekan, konsultasikan dengan dokter atau penyedia kesehatan mental.

Tetap Berpikir Positif 

Menghabiskan waktu dan energi ekstra untuk memperdalam hubungan pernikahan atau menekuni minat maupun hobi setelah anak meninggalkan rumah dapat membantu Anda beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup.

Ikuti terus berita dalam negeri dan luar negeri lainnya di VOI Sumsel . Kami menghadirkan berita Sumatera Selatan terkini dan terlengkap untuk Anda.