Hasto Wardoyo Bicara Gizi Anak, Eklusif: Perlunya Menjaga 1.000 Hari Pertama untuk Mencegah Stunting
Hasto Wardoyo. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

PALEMBANG - Kasus stunting menjadi masalah yang kerap terjadi di Indonesia, dan belum teratasi. Awal mula penyebab permasalahan stunting banyak terjadi pada seribu hari pertama kehidupan seorang bayi. Perhatian tersebut sering kali dianggap sepele.

Sebab ketika sudah beranjak di masa itu, tumbuh kembang akan susah untuk diperbaiki. Dr. Hasto Wardoyo, Sp.Og (K), Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr. (HC), memperoleh tugas khusus dari Presiden Jokowi untuk mengurangi permasalahan stunting di Indonesia. Apalagi kini sedang menyeruak pandemi COVID-19 yang entah kapan akan berakhir.

Tetapi kata, mantan Bupati Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta ini, meski keadaan sulit tidak boleh menyerah. Dia sudah menyiapkan agenda aksi, saat proposal yang ia izinkan kepada pemerintah mendapat persetujuan dari terkait di atas  BKKBN  langsung bergerak. “Saya sudah menyiapkan rencana aksi nasional untuk penanganan stunting, yaitu pendampingan keluarga. Kita akan mengawal orang yang mau menikah dan orang yang mau hamil. Melalui program PKK dan pengerahan bidan yang berpartner dengan penyuluh dan kader PKK. Semua ini dilakukan untuk mencegah stunting,” katanya.

Soal stunting ini berkaitan erat dengan kwalitas SDM kita ke depan. Selama ini menurut data yang dipaparkan Hasto, masalah kerdil 27,7 persen, gangguan jiwa lalu 9,8 persen, selanjutnya difabel-autisme 4 persen dan terakhir masalah nafza 5,1 persen. Inilah fokus BKKBN ke depan bagaimana menjadikan kualitas SDM unggul di masa mendatang.

Stunting  ini penting karena setelah 1.000 hari pertama tidak bisa dikoreksi. “Program ini akan dilakukan dalam 1.000 hari kehidupan pertama. Di sinilah stunting itu bisa dikoreksi. Kalau sudah lewat itu kita menyerah. Soalnya perkembangan otak bayi itu terjadi pada usia itu dua tahun pertama. Setelah itu bisa berkembang tapi tidak maksimal. Begitu juga dengan pertumbuhan fisiknya, juga ditentukan saat usia 1.000 pertama ini,” terangnya.

Masih ada korelasi yang kuat dengan masalah stunting ini, BKKBN kini lebih mendekatkan diri kepada kaum milenial. Karena itu program-program yang mereka galakkan pun banyak menyasar milenial yang akan menjadi calon pasangan usia pinggiran selanjutnya. Program yang dulu dengan slogan dua anak cukup tetap sukses dengan modifikasi menjadi dua anak lebih sehat. Seperti apa BKKBN menjalankan program stunting di tengah pandemi COVID-19 dan juga siasat untuk menyasar kaum milenial? Kepada   Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos,  dan  Irfan Meidianto  yang menemui  Hasto Wardoyo  kantor  BKKBN  Pusat, di bilangan Halim Jakarta Timur, belum lama terpikir. Inilah petikan wawancaranya. 

Sebagai lembaga yang mengontrol pertumbuhan penduduk, apa target BKKBN, baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam mengerem laju pertumbuhan penduduk di Indonesia?

BKKBN harus menghayati betul bahwa kisah sukses penurunan jumlah anak atau  tingkat kesuburan  tercapai dalam hal ini dulu 5,6 dan 5,7 di tahun 80-an dan sekarang menjadi 2,4. Artinya kita sudah sadar bahwa kampanye “dua anak cukup” itu sukses.

Ketika kita sudah menyadari itu, sekarang harus sadar penuh juga bahwa kwantitas tidak cukup, tapi kwalitas jauh lebih penting. Dalam jangka pendek ini BKKBN harus punya program-program untuk kampanye karena ahlinya  BKKBN  itu kan  menuntut penciptaan , jadi bagaimana kesadaran masyarakat bisa  pada kampanye terhadap kualitas. Jangan hanya punya anak itu targetnya yang penting 2 atau 3 anak tetapi kwalitasnya enggak jelas. Makanya kalau Pak Presiden memberi tugas kepada BKKBN untuk urusan penting itu sebetulnya cocok itu karena kita harus berpikir soal kwalitas.

Untuk jangka panjang dan menengah memang kita ini harus antisipasi bonus demografi tahun 2030 2035. Itu kan ini kan bonus demografi kan agak maju sehingga dependency ratio (rasio ketergantungan) antara yang bekerja dan tidak bekerja itu dulu  dugaan kita di tahun 2025 itu baru mencapai katakanlah setiap 100 orang produktif menampung 46 tahun.   Tapi ternyata tahun 2020 ini Indonesia rata-rata setiap 100 orang hanya menanggung 44. Yang kita khawatirkan jangan-jangan nanti window opportunity-nya maju. Akhirnya aging population-nya maju juga. Kalau itu maju cela untuk sejahterahnya juga maju atau menyempit. Kesemptan untuk sejahterahnya segera akan berakhir. Mungkin tidak sampai pada tahun 2035.

Nah ini harus dipikirkan betul. Kita siap enggak sekarang dengan bonus demografi yang keren, jumlah yang bekerja banyak dan yang tidak bekerja sedikit. Apakah kita sudah siapa kalau nanti bonus itu hilang, di mana orang tua sudah banyak orang tua kita itu pendidikan yang rendah itu kan ada orang tua zaman dulu yang akan mengisi tahun 2030-2040 yang  pendidikannya masih relatif rata-ratanya 7 atau 8 tahun. Siap enggak  kita menghadapi hal seperti ini.

Dulu BKKBN terkenal dengan kampanye dua anak cukup, sekarang  apa ada perubahan?

Kampenye ‘dua anak cukup’ itu sudah sukses menggiring total fertility rate  antara 2 sampai 2,4. Selanjutnya  kita akan bergeser kepada kwalitas, maka sebetulnya sekarang tampaknya harus dua anak lebih sehat. Ini kampanye yang strategis karena  kalau kita bilang ‘dua anak cukup’, sekarang  masalah hak-hak reproduksi sudah sudah bergerak. Soal kesehatan reproduksi harus dihargai,  orang mau punya anak mau tidak punya anak, mau kawin mau tidak kawin itu harus dihargai.

Bagaimana seseorang itu punya otonomi untuk menentukan dirinya mau punya anak maupun tidak punya anak. Sekarang kalau kita berbicara dua anak lebih baik juga masih diperdebatkan. Tapi kalau mengatakan dua anak lebih sehat ini memang evidence-based. Berbagai penelitian di dunia sudah banyak yang mempublikasikan  kalau meneliti jumlah anak dua dibandingkan yang tiga atau  yang lima dengan multiparitas atau grande multiparitas. Ini jelas signifikan dalam arti memang evidence-based bahwa kematian ibunya rendah kematian bayinya juga rendah.

Dalam peringatan Hari Keluarga Nasional yang lalu apa temanya?

Untuk Hari Keluarga Nasional ini kita mengambil tema “Berencana itu keren dan cegah stunting itu penting.” Ada dua hal yang bermakna di sini, keren dan stunting. Kenapa kita itu mengangkat ini karena keren itu juga ke singkatan dari keluarga berencana, tapi keren ini juga istilah yang sangat dekat di hati para anak muda. Ternyata kalimat keren itu bagi anak muda lebih enak daripada keluarga berencana. Sekarang populasi pemuda-pemudi jauh lebih besar, ada 64 juta. Kita harus mendekati remaja, BKKBN harus menjadi sahabat remaja. Kita harus bisa men-down-grade diri dekat dengan remaja, kalau tidak kita gagal. Soalnya remaja itu yang menentukan masa depan bangsa ini ke depan. Mereka yang nanti akan menjadi pasangan hidup baru di mana ada pasangan usia subur baru. Kalau yang usia 35  tahun mereka sudah tidak merencanakan punya anak. Jadi kita kalau bicara harus dengan yang muda. Itulah alasannya BKKBN harus menjadi sahabat remaja.

Kemudian soal stunting, kwalitas SDM kita yang paling mengganggu adalah stunting; 27,7 persen,  lalu mental disorder 9,8 persen, yang ketiga baru di difabel-autisme  4 persen. Tetapi di luar itu ada persoalan  nafza 5,1 persen. Inilah fokus kita, bagaimana agar kwalitas SDM itu bisa unggul. 

Berapa besar data stunting di Indonesia saat ini?

Di masa pandemi ini para ahli prediksi kematian bayi meningkat, para ahli menduga bayi yang wasting (kurus) ini juga meningkat, dengan prakiraan seperti ini angka stunting juga bisa meningkat. Datanya bisa meningkat terus. Ini yang harus kita waspadai.

Ikuti terus berita terkini dalam negeri dan luar negeri di VOI Sumsel .