JAKARTA - Istilah "ubur-ubur ikan lele" belakangan viral di berbagai platform media sosial Indonesia. Ungkapan ini sering muncul dalam pantun sederhana yang disisipkan unsur humor dan diakhiri dengan kata "le" agar berima dengan "ikan lele."
Beberapa contoh pantun yang populer di media sosial:
- Ubur-ubur ikan lele, udah kerja, le.
- Ubur-ubur ikan lele, yang lain nikah aku masih jomblo, le.
- Ubur-ubur ikan lele, jangan lupa makan siang, le.
- Ubur-ubur ikan lele, sebentar lagi puasa, le.
- Ubur-ubur ikan lele, pinjem seratus, le.
Apakah ini bisa disebut pantun? Secara struktur, pantun memiliki pola a-b-a-b atau a-a-a-a, sementara "ubur-ubur ikan lele" lebih condong sebagai ungkapan viral yang mengandalkan kesamaan rima. Rima adalah bunyi yang muncul di akhir larik puisi untuk memperindah dan menggambarkan perasaan pengarang.

Viralnya istilah ini berawal dari video seorang pria yang ditilang polisi. Bukannya panik, ia justru melontarkan pantun kocak sambil tertawa: "Ubur-ubur ikan lele, kena tilang, le." Video yang diunggah akun TikTok @wtf.daily11 itu langsung menarik perhatian warganet dan ditonton lebih dari 6,4 juta kali. Setelah viral, banyak netizen membuat pantun serupa, menjadikan "ubur-ubur ikan lele" fenomena di dunia maya.
BACA JUGA:
Namun, tak banyak yang tahu bahwa ungkapan ini berasal dari lagu "Ubur-Ubur Ikan Lele" yang dinyanyikan oleh rapper Ecko Show pada 2018. Lagu tersebut berisi kritik terhadap dunia hiburan dengan gaya satire. Salah satu liriknya berbunyi:
"Ubur-ubur, ikan lele. Jadi viral, jadi meme. Gue rapper, tapi kere. Kalah tenar sama lele."
Kini, istilah "ubur-ubur ikan lele" bukan sekadar lirik lagu, melainkan bagian dari budaya digital yang terus berkembang di media sosial.
Antara Puisi dan Pantun
Indonesia kaya akan budaya dengan keberagaman suku, bahasa, dan tradisi. Salah satu bentuk sastra yang masih eksis hingga kini adalah pantun. Pantun merupakan bagian dari budaya lisan yang tersebar di berbagai daerah dengan sebutan berbeda. Dalam bahasa Jawa disebut parikan, dalam bahasa Sunda disebut paparikan, dan dalam bahasa Batak disebut umpasa. Meskipun memiliki nama berbeda, strukturnya tetap sama.
Kata "pantun" berasal dari bahasa Minangkabau, "patuntun", yang berarti penuntun. Sejak dahulu, pantun disusun dengan rapi agar enak didengar dan mudah dipahami. Awalnya, pantun hanya diucapkan secara lisan, tetapi seiring waktu mulai dibukukan agar tetap lestari.
Pantun memiliki karakteristik khas:
- Setiap bait terdiri dari empat baris.
- Setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata.
- Pola rima A-B-A-B, A-A-A-A, atau A-A-B-B.
- Terbagi menjadi dua bagian: sampiran dan isi.
Sampiran merupakan dua baris pertama yang berfungsi sebagai pengantar dan membangun rima. Isi terdapat pada dua baris terakhir, berisi pesan utama, seperti nasihat, sindiran, atau ungkapan perasaan.
Sebagai bagian dari budaya Melayu, pantun memiliki peran penting dalam masyarakat. Dulu, pantun digunakan dalam percakapan sehari-hari dan masih dipakai dalam berbagai kesempatan, seperti pidato adat, perdagangan, hingga ungkapan perasaan.
Pantun juga terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan fungsinya, antara lain:
- Pantun adat
- Pantun tua
- Pantun muda
- Pantun suka
- Pantun duka
Pantun tidak terikat usia, gender, atau status sosial. Ia menjadi alat komunikasi yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat, dari pejabat hingga rakyat jelata. Selain sebagai bentuk sastra, pantun juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang berakar pada ajaran agama dan kebijaksanaan lokal.
Melalui pantun, nilai-nilai luhur diwariskan. Bahkan pantun kelakar atau sindiran tetap mengandung pesan moral. Oleh karena itu, menjaga dan mengembangkan pantun berarti turut menjaga warisan budaya bangsa.
Jose Rizal Manua Tanggapi Viral “Ubur-ubur Ikan Lele”: Belum Bisa Disebut Pantun

Penyair Jose Rizal Manua menanggapi viralnya "ubur-ubur ikan lele" di media sosial. Menurutnya, frasa tersebut belum bisa disebut pantun karena tidak memiliki struktur lengkap. “Pantun harus punya sampiran dan isi. Contohnya pantun lama tentang cinta dan kasih sayang,” ujarnya.
Ia pun mencontohkan:
"Dari mana punai melayang,
dari sawah turun ke kali.
Dari mana kasih sayang,
dari mata turun ke hati."
Dalam pantun ini, dua baris pertama sebagai sampiran, sedangkan dua baris terakhir adalah isi. Sementara "ubur-ubur ikan lele" lebih menyerupai lelucon tanpa sampiran. “Kalau ada lanjutannya sesuai pola pantun, baru bisa disebut pantun,” tambahnya.
Jose Rizal juga menekankan bahwa pantun adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara. Di akhir bincang-bincang, tim VOI "memaksa" Jose Rijal untuk membuat pantun ala "ubur-ubur ikan lele". Inilah hasilnya:
"Ubur-ubur ikan lele,
hati-hati kecebur, le."