Bagikan:

JAKARTA - Harga Bitcoin (BTC) kembali menguat ke kisaran 85.000 dolar AS (Rp1,43 miliar) pada awal pekan ini ditengah tarik ulur keputusan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump. 

Selasa pagi, 15 April pukul 08.00 WIB, harga Bitcoin (BTC) tercatat di 84.932 dolar AS atau sekitar Rp1,43 miliar. BTC berhasil menembus garis MA-20 dan kini diperdagangkan di atas MA-50  membuka peluang breakout dari resistance 85.000 dolar AS. 

Jika level ini berhasil ditembus, Financial Expert Ajaib, Panji Yudha meyakini bahwa BTC berpotensi melanjutkan kenaikan menuju MA-100 dan resistance selanjutnya di 91.000 dolar AS (Rp1,52 miliar). 

Menjelang libur Good Friday, pasar kripto bersiap menghadapi serangkaian data ekonomi penting AS yang akan sangat mempengaruhi arah pasar:

Consumer Inflation Expectations (Senin): Kenaikan ekspektasi inflasi konsumen AS menjadi sinyal bahwa tekanan harga belum sepenuhnya reda. Jika angka ini kembali naik ke 3,3 persen atau lebih, pasar bisa mulai mengantisipasi kebijakan moneter yang lebih ketat dari The Fed.

US Retail Sales (Rabu): Mengukur total pengeluaran konsumen di sektor ritel. Peningkatan angka ini menunjukkan kuatnya tingkat konsumsi masyarakat, sementara penurunan dapat menjadi sinyal melemahnya aktivitas ekonomi.

Industrial Production (Rabu): Menggambarkan tingkat output dari sektor industri, termasuk pabrik dan fasilitas utilitas. Peningkatan data ini mengindikasikan adanya pertumbuhan produksi, sementara penurunan mencerminkan melemahnya aktivitas industri.

Initial Jobless Claims (Kamis): data mingguan yang mencerminkan jumlah klaim awal untuk tunjangan pengangguran. Peningkatan angka klaim dapat mengindikasikan potensi kenaikan tingkat pengangguran, sedangkan penurunan angka klaim menunjukkan perbaikan kondisi pasar tenaga kerja.

Namun, di antara data-data penting tersebut, ketidakpastian arah suku bunga dan kebijakan dagang AS tetap menjadi katalis dominan bagi pasar kripto dalam jangka pendek. 

Dalam kondisi seperti ini, Panji menyarankan investor untuk fokus pada manajemen risiko. Menurutnya, saat ini investor sedang berada dalam fase ketidakpastian. 

“Investor yang siap dengan strategi defensif namun fleksibel akan lebih mampu memanfaatkan peluang tanpa terjebak dalam volatilitas jangka pendek,” tutup Panji.