Cegah Serangan Jantung saat Olahraga, Pemeriksaan Fisik Atlet Harus Dilakukan
ILUSTRASI/UNSPLASH

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum KONI Pusat Letjen TNI (Purn) Marciano Norman bicara mengenai sejumlah atlet yang mengalami serangan jantung saat berolahraga. 

Serangan jantung kata Marciano mengutip WHO adalah pembunuh nomor 1 di dunia sampai tahun 2019. Masyarakat olahraga yang identik dengan sehat ternyata juga banyak yang terkena serangan jantung. 

"Kita baru saja diingatkan bagaimana gelandang timnas Denmark Christian Eriksen, seorang pesepakbola yang sangat cemerlang, pada saat mengikuti Euro 2020 terkena serangan jantung," ujar Marciano dalam webinar 'Jantung Sehat bagi Atlet dan Pegiat Olahraga' yang disiarkan kanal YouTube VOI, Kamis, 1 Juli.

"Tak lama juga kita diingatkan bahwa atlet bulutangkis legenda Indonesia, Markis Kido, juga terkena serangan jantung ketika sedang bermain di Tangerang," sambungnya.

Markis, peraih medali emas di Olimpiade 2008 itu tidak tertolong. Berselang beberapa waktu, pesepakbola tanah air, Ricky Yakobi juga mengalami hal serupa pada saat bermain bersama teman-temannya di Senayan. 

"Untuk itu para dokter memberikan atensi agar bagaimana atlet berprestasi kita serta pelaku olahraga dan masyarakat umum bisa terhindar dari serangan jantung karena minimnya bagaimana memberikan pertolongan pertama bagi mereka yang terkena serangan ini," kata Marciano.

Lantas bagaimana sebenarnya adaptasi jantung pada atlet?

Anggota Perhimpunan Dokter Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) dr. Vito Damay mengatakan atlet bukan lah profesi yang bisa disambilkan, tetapi harus dilakoni dengan serius. 

Dia menjelaskan, jantung terdiri dari otot yang otomatis digerakkan, ada listrik jantungnya yang bisa memompa oksigen ke seluruh tubuh. 

Menurut mantan atlet anggar ini, ketika atlet belum berpengalaman itu degup jantung lebih kencang. Berbeda dengan yang sudah bertahun-tahun dia lebih tenang. 

"Jadi jantung itu bisa dilatih. Ketika sudah mulai bertanding, jantung kita mulai berdegup lagi karena adrenalin. tapi ketika sudah lama berlatih degup jantung tak secepat orang yang belum pernah latihan," ungkapnya.

"Itu lah mengapa kalau yang sudah masuk pelatnas jika kita raba detak jantungnya lebih rendah daripada orang normal," sambung dia 

Menurut dr. Vito, tak perlu heran jika detak jantung atlet hanya berdetak 50 kali per menit, padahal detak manusia kisaran normal 60-100 per menit. Sebab atlet bisa hanya 40-50 per menit ketika istirahat karena sudah adaptasi dengan besarnya aktifitas fisik yang dilakukan. 

"Jadi adaptasi jantung berbeda dengan jenis olahraganya," katanya.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Radityo Prakoso, menyampaikan bagaimana sebagai seorang awam bisa menolong orang dengan henti jantung. 

Dia mengatakan  pulihnya seseorang dengan henti jantung itu akan menurun bila tidak dilakukan pertolongan apa-apa seiring waktu. 

"Kalau pada menit pertama pertolongannya, maka survivalnya bisa antara 21-36 persen bisa kembali ROSC (Return of Spontaneous Circulation) atau kembali terabanya nadi selama 10 menit dan tanda sirkulasi bertahan. Kalau didiamkan 20 menit berikutnya, akan turun hanya 4,6 persen," ujar dr. Radityo dalam webinar yang sama.

Sementara, pada 53 menit sudah dipastikan 100 persen akan meninggal bila tidak dilakukan pertolongan oleh teman-teman terdekatnya. Dan ini diteliti oleh GOTO dengan sample 17.238 kasus. 

Selain itu, ahli distrik jantung dr. Sunu Budhi Raharjo mengatakan, jika dibandingkan dari posisi jatuh antara Markis Kido dan Christian Eriksen adalah dalam posisi yang sama, dari berdiri jatuh menelungkup. 

Menurutnya, hal itu disebabkan oleh hypertrophic cardiomyopathy. Yaitu terjadi penebalan otot tengah jantung yang membatasi jantung kiri dan kanan. 

"Maka ketika terjadi, ada 2 kemungkinan dia mengalami, satu karena penebalan jalur keluar nya darah ke aorta saat exercise dia akan kolaps jadi tidak ada darah yang support karena tertutup oleh aliran otot yang menebal. Kedua, jaringan yang menebal atau jaringan virbrosis akan menyebabkan resiko terjadinya Aritmia berbahaya. Saya kira ini yang menjadi poin penting bagi kasus yang terjadi. Over Aritmia," ungkapnya.

Sementara, dokter spesialis jantung dr. Ade Meidian Ambari menjelaskan, henti jantung mendadak (SCD) adalah kematian yang tidak terduga yang disebabkan oleh penyebab kardiovaskuler. 

Henti jantung mendadak terjadi ketika jantung berhenti berdetak atau tidak berdetak secara adekuat untuk mempertahankan perfusi dan kehidupan. Kemudian ada penebalan struktur karena jantung dipaksa exercise.

Untuk mengantisipasi kasus serangan jantung pada atlet, dr. Ade mengusulkan agar KONI melakukan pemeriksaan fisik pada atlet-atlet yang bersangkutan. Sehingga, dapat diketahui penyebab sang atlet memiliki riwayat sakit jantung.

"Jadi saya usulkan kepada KONI adalah pemeriksaan fisik. Jadi cari riwayat keluarga yang sakit jantung, apakah ada yang meninggal kelainan jantung, apakah ketika pemeriksaan fisik ada kelainan atau tidak nanti kita bisa dengar. Yang paling penting adalah pemeriksaan elektrokardigramnya (EKG)," kata dr. Ade.