Bagikan:

JAKARTA - Angka kelahiran rendah kini menjadi masalah di sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Amerika Serikat. Faktor utamanya adalah semakin banyak generasi muda, terlebih generasi Z atau gen Z yang enggan menikah atau memiliki anak.

Peneliti dari Manhattan Institute and Institue for Family Sudies, Robert VerBruggen, mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena generasi muda menilai hidup sendiri atau lajang lebih menarik untuk dijalani.

Sebelumnya, pernikahan dianggap sebagai asuransi bagi wanita untuk bergantung pada pria untuk mendapat penghasilan dan stabilitas. Namun, pemahaman ini semakin memudar dan wanita bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Faktor ekonomi juga mempengaruhi banyak generasi muda untuk tidak menikah. Mereka menganggap bahwa menikah dan memiliki anak membutuhkan biaya besar dan menghambat ekonomi mereka.

“Wanita bisa jauh lebih stabil secara finansial jika sendiri daripada sebelumnya. Bahkan di antara pasangan yang sudah menikah, pengorbanan terkait memiliki anak berubah ketika kedua pasangan memiliki peluang kerja yang baik,” kata Robert VerBruggen, dikutip dari Newsweek, pada Selasa, 15 April.

Robert juga berpendapat meningkatnya standar hidup dan teknologi canggih membuat kehidupan lajang menarik. Banyak juga anak muda yang menilai bahwa kehidupan lajang sebagai lambang kebebasan, dan berpikira panjang untuk mengorbankan hal tersebut demi pernikahan serta anak.

“Karena pernikahan kini cenderung terjadi di usia yang lebih tua. Budaya kita telah mengglorifikasi kehidupan lajang dan menjadikannya hal biasa bagi seseorang untuk tetap melajang lebih lama,” jelasnya.

Meski demikian, Robert juga menyoroti penggunaan teknologi dan media sosial di kalangan anak muda. Teknologi dan media sosial membuat cara berinteraksi mereka berubah, yang dapat mengubah pandangan tentang hubungan.

“Beberapa dampak yang paling jelas terlihat di dunia kencan, terjadi pergeseran sangat besar ke arah mencari pasangan secara online. Itu dapat membantu orang menemukan pasangan lebih baik dari pilihan yang banyak, tetapi itu juga membuat mereka sinis tentang pilihan yang tampaknya tak ada habisnya. Itu tidak baik untuk hubungan,” pungkas Robert.