Bagikan:

YOGYAKARTA – Banyak di antara kita yang belum mengenal tradisi munggahan yang dilakukan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat menjelang bulan suci Ramadan.

Munggahan merupakan tradisi unik yang penuh makna. Kata munggahan berasal dari kata “munggah” yang bermakna naik atau meningkat, melambangkan peningkatan spiritual dan persiapan menyambut datangnya bulan penuh berkah, yakni bulan Ramadan.

Lantas, bagaimana asal usul tradisi munggahan? Simak informasi selengkapnya berikut ini.

Mengenal Tradisi Munggahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “munggah” merujuk pada hari terakhir bulan Ruwah, yakni sehari sebelum dimulainya puasa Ramadan.

Dikutip dari Antara, munggahan adalah tradisi berkumpul dan makan bersama dengan keluarga atau kerabat untuk menyambut bulan Ramadan.

Tradisi munggahan menjadi momen untuk mempererat silaturahmi, membersihkan hati, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk menyambut bulan Ramadan.

Pelaksanaan tradisi munggahan bertujuan untuk mengingatkan umat Islam bahwa bulan suci Ramadan yang penuh berkah akan segera tiba, sehingga mereka dapat menyambutnya dengan keimanan yang lebih kokoh, baik secara lahir maupun batin.

Selain itu, tradisi munggahan juga menjadi bentuk rasa syukur kepada Allah, sarana untuk memperat silaturahmi dengan sesama, serta momen untuk mengirimkan doa kepada mereka yang telah berpulang.

Pelaksanaan tradisi munggahan biasanya dilakukan di masjid, musala, atau di rumah salah satu warga. Kegiatannya meliputi pembacaan tahlil da doa bersama.

Apabila dilaksanakan di masjid, masyarkat biasanya membawa makanan dari rumah masing-masing. Akan tetapi, jika digelar di rumah wwarga, hidangan biasanya disiapkan oleh tuan rumah.

Makanan yang terkumpul kemudian didoakan bersama sebagai bentuk rasa syukur atas kedatangan bulan Ramadan. Setelah berdoa, seluruh peserta akan menikmati hidangan yang sudah disiapkan.

Sampai saat ini, tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Asal Usul Tradisi Munggahan

Ada pendapat yang menyatakan bahwa tradisi munggahan diperkenalkan oleh Sunan Kaijaga sebagai metode akultirasi budaya saat menyebarkan agama Islam di Jawa. Tradis ini berhasul menggabungkan unsur-unsur budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

Di beberapa wilayah, ada banyak istilah untuk menyebut tradisi munggahan. Misalnya di Jawa Tengah, tradisi ini dikenal dengan nama Punggahan. Di Bandung, masyarakat menyebutnya dengan nama Papajar, sementara di Bogor disebut Cucurak. Keragaman nama ini menunjukkan kekayaan budaya lokal yang masih terjaga sampai saat ini.

Hidangan yang disajikan dalam tradisi munggahan sangat bervariasi, tergantung daerah masing-masing. Akan tetapi, beberapa makanan mempunyai makna atau filosofi tersendiri yang berkaitan dengan bulan Ramadan.

Sebagai contoh, apem, wajik, pisang raja, dan ketan. Makanan-makanan ini dipercaya memiliki makna dan simbol tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadan.

Demikian informasi tentang tradisi munggahan. Dapatkan update berita pilihan lainnya hanya di VOI.ID.