Eksklusif Awi Suryadi Cerita Tantangan di Balik Kesuksesan Film KKN di Desa Penari
Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Film KKN di Desa Penari disambut antusias oleh penonton film Indonesia. Sempat tertunda hingga tiga kali karena pandemi COVID-19, film yang disutradarai Awi Suryadi ini langsung meraup satu juta penonton hanya dalam empat hari penayangan sejak 30 April 2022. 

KKN di Desa Penari adalah film yang diadaptasi dari cuitan vital di Twitter pada 2019 lalu oleh akun @SimpleM81378523 alias SimpleMan. Sebenarnya, MD Pictures langsung mengadaptasi film ini dan dijadwalkan menyapa bioskop pada Maret 2020. Namun diubah menjadi Februari 2022 lalu akhirnya tayang mulai 30 April 2022.  

Kisah film ini menyangkut mitos dan cerita mistis yang dialami oleh sekelompok mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah desa. Mereka adalah Tissa Biani sebagai Nur, Adinda Thomas sebagai Widya, Aghniny Haque sebagai Ayu, Ahmad Megantara sebagai Bima, Calvin Jeremy sebagai Anton, dan Fajar Nugraha sebagai Wahyu. 

Sebagai sutradara, Awi mengaku sempat merasa tak enak ketika tanggal tayang terus berubah karena warganet terus menanyakan kapan tanggal pasti penayangannya KKN di Desa Penari. "Lega ya akhirnya tayang. Karena warganet ada yang tanya dari sopan, kemudian marah-marah, sampai akhirnya menghujat gara-gara tanggal tayangnya terus berubah. Tapi itu kewenangan produser ya, bukan wewenang saya sebagai sutradara," ujar Awi saat bertandang ke kantor redaksi VOI, Tanah Abang, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. 

Eskalasi emosi warganet justru membuatnya antusias. Hal itu menunjukkan bahwa film KKN di Desa Penari benar-benar dinantikan. 

"Saya pikir asyik saya punya hutang sama penonton. Saya yakin produser punya pertimbangan tertentu ketika menjadwalkan penayangannya. dan saya rasa ini waktu yang terbaik sih sekarang ini," lanjutnya. 

Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Kondisi pandemi yang bisa diatasi, menurut Awi, memberikan optimisme sejak rencana akhir penayangan film ini dipastikan. "Kondisi sekarang sudah PPKM level satu di beberapa tempat. Lalu bioskop bisa buka dengan kapasitas 100%, pas banget untuk KKN di Desa Penari. Karena film ini tipe film yang harus dinikmati beramai-ramai di bioskop," katanya. 

Berangkat dari cerita viral, Awi mengaku tak terbebani sebagai sutradara. Meskipun dia mengaku banyak yang mengirim pesan agar dia menfilmkan KKN di Desa Penari sebelum akhirnya ditunjuk MD Pictures menjadi sutradaranya. 

"Enggak beban ya sebenarnya, karena mengerjakan hype apa enggak, laris enggak itu porsinya produser. Saya pakai topi sutradara mikirnya cerita film ini ngena nggak buat saya. Pas saya baca threat-nya saya nggak bisa berhenti baca. Jadi baca terus, ini menarik untuk difilmkan," kenangnya.  

Awi mengaku selalu telat ketika mengikuti sesuatu yang hype, termasuk cerita KKN di Desa Penari. "Saya telat bacanya. Ketika banyak yang mention, saya baru baca. Ternyata dari segi cerita ini sangat berisi," katanya. 

"Saya sudah mengerjakan banyak film drama juga horor, saat baca ceritanya saya pikir ini sesuatu yang belum pernah saya baca dan sangat cocok untuk divisualisasikan. Beban saya sih bagaimana saya bisa memberikan gambaran cerita ini secara visual, dan itu ngena ke pembaca. Soal laris atau enggak, saya yakin produser punya pertimbangan matang," imbuh Awi Suryadi. 

Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pria kelahiran Lampung, 24 September 1977 ini memilih untuk setia pada cerita yang dibangun oleh Simple Man. Dia tidak berusaha menambahkan ataupun mengurangi ceritanya.

"Hampir bisa dibilang tidak ada yang diubah dari threat-nya. Kalaupun diubah cuma kayak mikirin timeline. Karena film kan ada durasi yang harus diikuti untuk penayangan di bioskop. Tapi penggemar ceritanya nggak bakal kecewa karena kita mengikuti blue print cerita aslinya," tegas Awi. 

Pembuatan film dimulai secara serius dengan mencari lokasi yang sangat mirip dan alami seperti cerita di Twitter. Karena tidak mendapat izin di lokasi asli, Awi memilih untuk memboyong ratusan kru dan pemain ke Jogjakarta. 

"Tadinya kita pikir syuting paling di daerah Bogor dan sekitarnya. Tapi kalau mengikuti cerita saya pikir nggak bakal dapat kalau di Jakarta atau Bogor dan sekitarnya. Jadi saya bilang ke MD untuk mencari lokasi yang pas. Dari awal Simple Man sudah memberi tahu kita nggak bisa syuting di lokasi aslinya karena dia juga sudah ditegur oleh kepala adat sana karena ini sesuatu yang sebenarnya nggak pengin diungkit lagi," katanya.

Namun, untuk gambaran, Awi tetap mendatangi lokasi asli cerita tersebut. "Kalau sekarang lokasinya sudah jauh berubah ya dari cerita. Lokasi sudah maju, akhirnya nggak mungkin di lokasi asli juga. Akhirnya hunting-lah ke Jogja," tutur Awi.

Di Jogja, katanya, ada beberapa pilihan lokasi yang mendekati cerita dimana banayk rumah kayu berlantai tanah. Selain itu aksesnya juga mudah dijangkau. 

"Di Jogja kita nemu beberapa rumah di dalam hutan yang seperti cerita. Rumah kayu, penerangan listrik masih minim, mendekati cerita. Saya sendiri, atau mungkin di film Indonesia, saya rasa tidak ada yang seniat itu mencari lokasinya," kata sutradara film Badoet ini. 

Lokasi yang mirip, lanjutnya, dibutuhkan karena Awi sejak awal tidak ingin menggunakan teknologi CGI untuk memperindah film KKN di Desa Penari. Semua visual yang dihadirkan benar-benar setting asli. 

"Semua real set ya. Jadi beebrapa rumah penduduk memang sudah ada di situ dan cocok dengan cerita kita pakai. Untuk rumah yang belum ada, seperti rumah sinden, itu kita bangun, bangun kolam pemandian itu juga kita bikin," tegasnya. 

Tantangan Syuting dari Cuaca hingga Mengendalikan Ular

Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bukan hal yang mudah bagi Awi Suryadi untuk mewujudkan visual semirip mungkin dengan cerita asli KKN di Desa Penari. Komitmennya untuk menggunakan set asli dengan cerita di era tahun 90-an awal membuatnya harus bekerja keras. Kendala utama yang harus ditaklukkannya adalah cuaca. 

"Cuaca sih, karena ketika kita memutuskan untuk produksi, Pak Manoj Punjabi awalnya pasang target tayang awal Maret 2020 ya. Jadi kita syuting itu di akhir tahun 2019, musim penghujan. Biasanya saya menghindari untuk syuting di masa itu. Karena hujan itu halangan, dan karena dikejar target juga," kenangnya.

Baginya, cuaca adalah musuh terbesarnya. Lokasi sudah ditemukan, Awi masih harus berdamai dengan kondisi alam yang tak bisa diprediksi. "Begitu syuting kita itu babak belur dihajar cuaca hujan dan badai. Ada hari-hari dimana kita sudah set lokasi lalu hujan seharian. Dan akhirnya kru tidak bisa syuting dan set rusak. Hutan dan tanah-tanah ada yang longsor jadi harus bikin yang baru," katanya.

Ada masa dimana Awi merasa kehilangan semangat karena hujan seharian membuat semua rencana syuting tidak bisa dilakukan. Bahkan dia merasa mendapat teguran Tuhan saat menghadapi cuaca tak menentu. 

"Ada masa dimana kita sudah semangat untuk berkreasi datang ke lokasi syuting di pagi hari, eh hujan seharian. Ini kayak ditegur sama Tuhan, kalian boleh rencana-rencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan," jelasnya.

Tantangan lain adalah banyaknya kru yang terlibat membuat Awi harus benar-benar mengontrol dengan baik. "Ini film horor saya yang melibatkan kru paling banyak. Kayak kita itu ada 150 orang di lokasi, kita sudah siap syuting eh dihajar cuaca nggak melakukan apapun dari pagi sampai malam. Rasanya kayak pulang jadi pecundang," paparnya. 

Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Beban berat lain yang harus dihadapi adalah banyaknya ular yang dilibatkan. Komitmen Awi untuk tidak menggunakan CGI membuatnya harus siap untuk membawa ratusan ular ke lokasi syuting. 

"Kita dari Jakarta bawa spesifik ular, kita nggak bisa bawa ular yang beda ular dengan ular yang ada di Jogja. Jadi kita hunting ular di Cilacap sebelum syuting. Kita bawa total 110 ular. Yang gede 19, yang kecil-kecil 100. Itu nggak gampang untuk diatur," jelas penggemar film horor Suzanna ini. 

Saat syuting, ular-ular itu tak bisa diatur sebagai mana layaknya pemain film. "Pas adegan dimana kita melibatkan banyak ular, saat ular ditaruh di kepala, semuanya kabur. Jadi dari 100 ular di awal, habis syuting sisa 60 ular. Waktu kita syuting kita nggak tahu itu ular dimana aja, ya sudah lanjut syuting aja. Begitu selesai syuting akhirnya pawangnya yang mencari ularnya," katanya. 

Layaknya orang pada umumnya, pemain film KKN di Desa Penari juga awalnya takut dengan ular. "Yang nggak paling berani itu Kiki Narendra yang berperan sebagai Pak Prabu. Kalau yang Adinda Thomas yang berperan sebagai Lidya itu awalnya takut. Tapi karena kita punya waktu reading sebulan dan belajar megang, akhirnya dia berani," paparnya. 

Tissa Biani yang berperan sebagai Nur mendapat pujian dari Awi. Menurutnya, Tissa sudah ada dalam bayangannya sejak awal membaca cerita viral KKN di Desa Penari. 

"Tissa bagus banget, memang dari awal saya sudah bayangin Nur itu Tissa pakai jilbab. Nggak tahu, saya nggak bisa bayangin yang lain. Begitu casting ya dia bisa men-deliver dengan baik ceritanya," jelas Awi. 

Awi Suryadi (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Film horor selalu punya penggemarnya sendiri. Tak cuma di Indonesia, di beberapa negara lain, film horor mendapat penonton yang banyak meskipun genre lain tiarap. 

KKN di Desa Penari kembali mengukuhkan hal tersebut. Usai dihantam badai Omicron dan bioskop kembali sepi, KKN di Desa Penari membuat bioskop kembali ramai. Bahkan tiket yang dipesan di beberapa bioskop sudah habis untuk tiga hari di depan. 

Awi tak menafikkan fakta tersebut tidak juga menghindari genre lain. "Kalau saya sih suka semua genre, tapi sejak sukses dengan Badoet dan lanjut Danur, saya dapat tawaran horor terus. Memang menurut saya syuting film horor itu lebih menyenangkan. Pergerakan kamera jauh lebih presisi. Lebih memuaskan ya buat saya sebagai film maker," katanya. 

Tapi dia mengakui tak semua film horor, terutama Indonesia, memiliki kualitas yang bagus. Bahkan di bawah standart. Hal ini sebenarnya membuat Awi gelisah. 

"Saya suka kesel kalau lihat film horor yang jelek, rasanya kayak dibodohi. Kalau film drama atau komedi yang jelek saya masih ada ketawanya. Tapi kalau horor itu bikin kesel kalau jelek," katanya. 

Yang paling menyenangkan ketika nonton film horor adalah pengalaman menonton yang komplit. Awi ingin menyajikan film dengan kualitas tersebut. "Film horor itu paling memuaskan kalau ditonton di bioskop," tegasnya. 

Seolah tak mau puas dengan kesuksesan KKN di Desa Penari, Awi bersiap merilis film Kisah Tanah Jawa. "Horor lagi ya. Tapi ini beda dengan KKN di Desa Penari. Beda juga dengan Danur," katanya. 

Pembukaan bioskop dengan kapastias penuh, membuat Awi merasa lega. Awalnya dia sempat kuatir karena era digital membuat kebiasaan menonton orang berubah. 

"Saya sempat kuatir ini pergeseran digital sangat cepat. Saya kuatir orang terbiasa nonton di handphone nanti malah nggak pengin ke bioskop. Ada tipe film yang bisa dinikmati di rumah, ada pula yang saya pikir hanya bisa dinikmati maksimal di bioskop," terangnya. 

Kekuatiran Awi Suryadi nampaknya tak terbukti.  "Kekuatiran itu memicu saya sebagai film maker untuk tidak membuat penonton kecewa. Karena sudah datang ke bioskop dengan segara keribetannya, kalau dikecewakan nanti mereka tidak mau ke bioskop lagi. Makanya saya tidak setuju kalau ada film yang didedikasikan untuk OTT lalu ditayangkan ke bioskop. Begitupun film yang didesain untuk tayang di bioskop, sayang kalau langsung tayang di OTT," katanya. 

Nyatanya, KKN di Desa Penari laris manis. Film ini sudah mengantongi 7 juta penonton per tanggal 19 Mei. Padahal antrian penonton di bioskop masih terjadi untuk nonton KKN di Desa Penari. Artinya, masih terbuka kemungkinan film ini menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa. 

Apapun itu, Awi mengaku siap menerima perubahan. Dia berharap bisa terus memberikan karya terbaik untuk bioskop.

"Saya sebagai film maker lebih memilih untuk membuat film layar lebar. Dengan data-data jumlah penonton yang terus naik itu membuat saya tetap optimistis." tandas Awi Suryadi.