Gonta-Ganti Istilah, Selama Tak Ada Jaminan Hidup Artinya Tetap Selamatkan Diri Masing-Masing
Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Selasa, 20 Juli pemerintah mengumumkan perpanjangan pembatasan kegiatan masyarakat hingga setidaknya 25 Juli. Istilah yang semula PPKM Darurat diganti menjadi PPKM Level 3 dan 4. Istilah terus bergonta-ganti. Tapi maknanya tetap sama: pemerintah tak patuhi kewajiban UU Karantina dan kita tetap harus menyelamatkan diri masing-masing.

PPKM Level 3 dan 4 tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 dan diberlakukan Rabu, 21 Juli. PPKM Level 4 tak memiliki perbedaan signifikan dengan PPKM Darurat. Level 3 hingga 1 disusun sebagai kriteria dalam langkah relaksasi yang dipersiapkan pemerintah pada 26 Juli jika tren kasus harian COVID-19 konsisten menurun.

Seperti PPKM Darurat yang tertuang dalam Inmendagri 15/2021, PPKM dengan kriteria level pada Inmendagri 22/2021 juga tak mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memuat banyak hal penting sebagai acuan kebijakan pandemi di Indonesia.

Inmendagri ini bahkan tak memiliki posisi jelas ketika kita merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Aturan Perundang-Undangan. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menjelaskan, memang dalam pasal 8 ayat 2 UU 12/2011 dijelaskan bahwa aturan lain yang diterbitkan menteri juga masuk sebagai perundangan-undangan.

"Tapi ada syaratnya. Dia diatur sebagai kewenangan. Maka harus ada UU yang mendelegasikan kewenangan tersebut," kata Maidina kepada VOI.

Instrumen untuk mendelegasikan kewenangan itu ada di UU Kekarantinaan Kesehatan. Tapi UU itu justru tak digunakan. Idealnya, pemerintah membentuk aturan turunan berbentuk peraturan pemerintah yang didasari oleh UU Karantina. PP berlandas UU Karantina dapat mengakomodir seluruh rangkaian kewenangan penanganan pandemi.

"Ini semua sudah berantakan. Harusnya buat aturan lihat dulu aturan yang ada sebagai tata hukum sekalipun di kondisi darurat. Enggak ribet kok. Enggak mesti buat UU. Buat PP saja. Nanti tetap bisa jadi kewenangan pemerintah pusat," kata Maidina.

Kenapa penting mengendalikan dengan jaminan

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Yang dikatakan Maidina sejalan dengan logika penanganan pandemi versi epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu pemerintah harus segera mengimplementasikan UU Karantina. Dan itu bisa dimulai dari pembentukan PP berdasar UU Karantina.

Salah satu poin terpenting dari UU Karantina adalah bagaimana pemerintah menjamin hajat hidup masyarakat. Jaminan inilah cara paling logis untuk menghentikan mobilitas masyarakat. Mengimbau dan menyerahkan kepada masing-masing individu masyarakat tak cukup.

Dibutuhkan skema sistemik dalam satu komando untuk penanganan pandemi. "Lihat saja orang itu masih keluar rumah. Ingat kan awal PPKM (Darurat), waktu sidak-sidak ke kantor, banyak ditemui itu orang kerja. Yang lebih kasihan itu orang kecil kaitannya," tutur Pandu.

"PPKM Darurat kan bukan UU Karantina. Saya dari awal bilang suruh bikin peraturan pemerintah yang dari UU Karantina. Tanpa itu enggak bisa," tambah Pandu kepada VOI.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) sekaligus pendiri WatchDoc, Dandhy Laksono pernah berkicau soal gonta-ganti istilah ini. Dandhy mengatakan, tanpa jaminan hidup sebagaimana diamanatkan UU Karantina, gonta-ganti istilah ini bermakna sama: selamatkan diri masing-masing.

Melengkapi Pandu, epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan pentingnya penggunaan UU Karantina dalam penanganan pandemi. Pada dasarnya UU Karantina adalah instrumen yang mengakomodir ketentuan dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat.

Situasi kedaruratan yang dimaksud adalah kejadian kesehatan luar biasa yang salah satunya ditandai penyebaran penyakit menular. Situasi yang sudah terpenuhi. Dan menurut Dicky, skema pengendalian pandemi yang telah diatur dalam UU Karantina merupakan hasil kajian panjang.

Setidaknya ada empat skema yang diatur UU Karantina, yaitu Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Rumah, dan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). UU Karantina justru tak mengenal istilah PPKM, baik yang buntutnya Darurat, Mikro atau disertakan kriteria level sebagaimana terbaru.

Dicky melihat pemerintah sengaja membuat skema PPKM sebagai jalan pintas menghindari kewajiban menjamin masyarakat sebagaimana ditetapkan UU Karantina. "Sebetulnya PSBB dan Karantina Wilayah itu sudah hasil kajian panjang. Saya terlibat juga."

"Hanya yang memberatkannya itu harus ada beban pemerintah untuk meng-cover biaya, beban kehidupan. Itu yang memberatkan. Terus juga belum ada pembagian peran yang belum jelas antara institusi. Ya, masih banyak bolong-bolongnya," tutur Dicky kepada VOI.

Bagaimana dengan bantuan sosial hari ini? Bukan itu. UU 6/2018 mengamanatkan lebih. Pasal 55 UU itu berbunyi: Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Presiden Jokowi bagikan bansos ke Sunter Agung (Sumber: Tangkap layar YouTube Setpres)

Kemudian, Pasal 8 UU 6/2018 menegaskan setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lain selama karantina. Adapun kebutuhan hidup lain yang dimaksud adalah pakaian, perlengkapan mandi, cuci, dan buang air.

Setelah semua kehidupan manusia dijamin. Barulah kita bisa memikirkan sanksi. UU 6/2018 mengatur itu. Pasal 93 mengatur hukuman bagi pihak yang menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

"... dipidana dengan pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp100 juta," tertulis dalam naskah UU.

"PPKM Darurat itu kan dibuat karena memang semacam jadi shortcut. Karena UU itu banyak turunannya belum selesai. Belum tuntas, gitu. Itu sebetulnya harus diperbaiki. Harusnya segera. Akhirnya regulasi kita ini enggak bisa dipakai," tutur Dicky.

Gonta-ganti istilah

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Berdasar catatan VOI yang dikutip dari artikel AKTUAL berjudul Gonta-ganti Istilah Penanganan COVID-19 di Indonesia, setidaknya pemerintah sudah tujuh kali menetapkan skema penanganan COVID-19. Dimulai dari PSBB hingga yang terbaru PPKM dengan kriteria level.

1. PSBB

Pembatasan ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Sebagaimana dijelaskan di atas, PSBB adalah salah satu skema yang diatur UU Karantina.

Hanya saja, dalam PSBB pemerintah tidak berkewajiban menjamin kehidupan dasar masyarakat sebagaimana diatur dalam Karantina Wilayah. Kendali PSBB dipegang pemerintah daerah dengan persetujuan pemerintah pusat. DKI Jakarta jadi provinsi yang pertama kali menerapkan PSBB per 10 April 2020.

2. PSBB Transisi/Proporsional

Per 4 Juni 2020, DKI Jakarta mengumumkan melakukan pembatasan mobilitas dengan sejumlah pelonggaran. Namanya PSBB Transisi.

Berbeda dengan DKI, Jawa Barat menggunakan istilah PSBB Proporsional yang serupa dengan PSBB Transisi. Secara garis besar, aturan peloggarannya sama dengan yang diterapkan di Jakarta.

Kebijakan PSBB dan PSBB Transisi/Proporsional bolak-balik diterapkan sejumlah daerah hingga tanggal 10 Januari 2021, mengikuti kondisi kasus COVID-19 di daerah masing-masing.

3. PPKM

Selanjutnya, pemerintah pusat mengambil kemudi penanganan pandemi di daerah akibat lonjakan kasus yang mulai terlihat. Hal ini sekaligus mengganti istilah PSBB menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

PPKM disahkan lewat Inmendagri 1/2021 pada 6 Januari dan berlaku 11 Januari hingga 8 Februari. PPKM ini diterapkan pada tingkat kabupaten-kota khusus Jawa dan Bali dan dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

4. PPKM Mikro

Pola pembatasan mobilitas diganti dengan penerapan PPKM Mikro yang berlaku sejak 9 Februari 2021. PPKM Mikro diawali di Jawa dan Bali lewat Inmendagri 3/2021. Daerah yang menerapkan PPKM mikro adalah daerah yang telah memberlakukan PPKM sebelumnya.

Bedanya dengan PPKM, PPKM Mikro lebih memusatkan pengendalian di tingkat komunitas, yakni RT-RW. Ada beragam kriteria pengendalian tergantung zona, mulai dari hijau, kuning, oranye, hingga merah.

5. Pengetatan PPKM Mikro

Secara bertahap, PPKM Mikro akhirnya berlaku di seluruh provinsi hingga 21 Juni 2021. Saat itu kondisi COVID-19 semakin melonjak, bahkan sempat mencapai lebih dari 50 ribu kasus per hari.

Oemerintah menerapkan Pengetatan PPKM Mikro yang berlaku sejak 22 Juni sampai 5 Juli lewat Inmendagri 14/2021.

6. PPKM Darurat

Pemerintah kembali mengubah istilah penanganan pandemi menjadi PPKM Darurat Jawa-Bali dan beberapa daerah lain. PPKM Darurat dilaksanakan berdasarkan Inmendagri 15/2021 dan mulai berlaku pada 12 Juli.

Sementara, di luar Jawa dan Bali masih menerapkan PPKM Mikro. Saat PPKM Darurat, seluruh belajar mengajar dilakukan daring dan ujicoba sekolah tatap muka dihentikan.

Kegiatan usaha di sektor esensial boleh beroperasi 50 persen, kritikal 100 persen dan di luar itu wajib WFH. Kemudian, rumah makan hingga lapak jajan tak boleh diizinkan dine in.

Kegiatan perbelanjaan kecuali apotek dan toko obat ditutup. Supermarket dan sejenisnya yang menjual kebutuhan sehari-hari maksimal beroperasi pukul 20.00 WIB. Tempat ibadah hingga fasilitas publik ditutup.

7. PPKM Level 4

Yang paling baru, pemerintah kembali mengubah istilah penanganan pandemi dengan nama PPKM Level 4 dan PPKM Level 3. Hal ini tertuang dalam Inmendagri 22/2021 tentang PPKM Level 4 COVID-19 di wilayah Jawa dan Bali.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani dan Yudhistira Mahabharata.

Infografis (Raga Granada/VOI)

BERNAS Lainnya