Menelisik Kasus Perceraian di Indonesia yang Terus Meningkat, Penyebab dan Akibat yang Ditinggalkan
Ilustrasi - Kasus perceraian di Indonesia terus meningkat, tercatat 516.334 kasus pada 2022 dibandingkan 447.743 pada 2021. (Antara/Ridwan Triatmodjo)

Bagikan:

JAKARTA – Perceraian biasanya menjadi langkah terakhir setelah berbagai upaya menyelamatkan sebuah pernikahan mentok. Sayangnya, anak lebih sering menjadi korban perpisahan orang tua.

Inilah yang dialami Baim, bocah 13 tahun di Samarinda yang tinggal sendirian di hutan setelah orang tuanya bercerai. Ia tinggal sendirian di dalam tenda di areal perkebunan milik warga di kawasan Jalan Wahid Hasyim/Gang Salam, RT 13, Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda, selama hapir satu bulan.

Baim, 13, memilih tinggal sendiri di tenda di kebun warga setelah orang tuanya bercerai. (Istimewa)

Baim hanya memiliki tenda kemping untuk melindungi dirinya dari hujan dan panas. Dengan beralaskan kasur yang diambilnya dari tempat sampah, Baim pun hanya mengandalkan cahaya lilin sebagai sumber penerangan di malam hari.

Beruntung Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) bergerak cepat begitu mendapat laporan dari warga sekitar. Ketua TRC PPA Kaltim Rina Zainun mengakatakan, keputusan Baim tinggal di tenda sendirian karena tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya.

Hadirkan Konflik Berkepanjangan

Perceraian kerap mengandung konflik berkepanjangan yang dilematis tidak hanya bagi orang tua tetapi juga anak, yang berisiko tidak terpenuhinya hak-hak anak, menurut psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto.

Meski bukan sebuah kesalahan, tapi faktanya perceraian masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Minimnya komunikasi antara orang tua yang berpisah dan anak mereka membuat perceraian menjadi mimpi buruk, meski tidak semuanya demikian.

Atas dasar itulah, perceraian seringkali meninggalkan pengaruh negatif pada anak.

“Dampak negatif perceraian untuk anak adalah terganggunya perkembangan psikologis, perasaan kurang kasih sayang orang tua, merasa rendah diri, sampai kecewa kepada orang tua,” kata Kasandra kepada VOI.

Selain itu, Kasandra mengatakan anak-anak yang orang tuanya bercerai sering menarik diri dari lingkungan bahkan hingga mengalami depresi. Padahal, perceraian sebenarnya tidak selalu memiliki dampak negatif jika orang tua tetap berkomitmen untuk bekerja sama dalam mengasuh anak.

Anak sering mengalami dampak psikologis dari perceraian orang tua. (Unsplash/Joel Overbeck)

Meski dampak psikologis pada anak lebih sering disorot, Kasandra tidak menampik bahwa perceraian juga dapat memengaruhi kehidupan orang tua.

Perubahan identitas pascabercerai sering menjadi beban tersendiri bagi orang yang bercerai. Apalagi di Indonesia, status duda maupun janda kerap mendapat stigma negatif di masyarakat. Status ini sering dipersepsikan sebagai orang yang gagal. 

“Orang tua mungkin mengalami stres emosional, perasaan bersalah, perubahan identitas, dan kesulitan dalam mengatur hubungan. Namun, dampak ini dapat bervariasi tergantung pada faktor-faktor individu dan dukungan yang ada,” Kasandra menjelaskan.

Terlepas dari berbagai risiko psikologis yang dihadapi anak maupun orang tua, perceraian tidak selalu berakhir menyeramkan. Menjaga komunikasi antara orang tua dan anak serta mempertahankan konsistensi dan rutinintas termasuk di antara langkah yang dapat meminimalisir dampak jika perceraian harus menjadi pilihan.

“Setiap situasi perceraian adalah unik, dan bantuan profesional mungkin diperlukan dala beberapa kasus,” jelas Kasandra.

Kasus Perceraian Meningkat

Berdasarkan laporan Statistik Indonesia, kasus perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di 2022 saja, kasus perceraian mencapai 516.334. Angka ini naik 15,31 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus.

Angka tersebut bahkan menjadi jumlah kasus perceraian tertinggi di Indonesia dalam enam tahun terakhir.

Namun yang menjadi perhatian, kasus perceraian di dalam negeri pada 2022 mayoritas merupakan cerai gugat atau perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh pengadilan.

Jumlah cerai gugat mencapai 75,21 persen dari total kasus perceraian tahun lalu atau 388.358.

Sementara kasus perceraian yang terjadi karena talak, yaitu perkara yang permohonannya cerainya diajukan oleh pihak suami yang telah diputus oleh pengadilan. Untuk kasus cerai talak angkanya ‘hanya’ mencapai 127.986 kasus atau 24,78 persen dari total kasus perceraian.

Pertengkaran yang terjadi secara terus menerus menjadi salah satu penyebab perceraian. (Unsplash/Eric Ward)

Pertengkaran yang terjadi secara terus menerus menjadi salah satu dari tiga alasan utama terjadinya perceraian yang dicatat di pengadilan agama. Dua alasan lainnya adalah ekonomi dan ditinggal salah satu pihak.

Catatan serupa juga terjadi di Amerika Serikat, di mana hampir 70 persen perceraian justru diprakarsai perempuan. Studi penelitian oleh American Sociological Association (ASA) pada 2015 menunjukkan dua pertiga dari perceraian diprakarsai perempuan. Bahkan di antara perempuan berpendidikan perguruan tinggi jumlahnya melonjak hingga 90 persen.

Mengutip The Whiteley Law Firm, komunikasi sebenarnya adalah kunci dalam pernikahan. Tapi sayangnya, tidak jarang ditermukan banyak pasangan yang justru mengalami kesulitan berkomunikasi.

Budaya patriarki yang masih cukup kental di Indonesia sedikit banyak berimbas pada kesulitan pria berkomunikasi dan memproses emosi. Akibanya, wanita dalam penikahan mendapati bahwa mereka sering akan mengambil tanggung jawab emosional.

“Seiring waktu, hal ini berdampak pada seseorang, secara mental, fisik, dan tentu saja secara emosional. Tanpa dukungan emosional dari suami, istri akan merasa sendiri tanpa sumber dukungan dalam pernikahan,” demikian catatan the Whiteley Law Firm.

Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berupaya menekan angka perceraian di Indonesia di antaranya dengan memperluas wawasan membangun keluarga berkualitas, mengingat dampak yang timbul akibat perceraian.

“Anak-anak betul-betul butuh perhatian. Keluarga harus menjadi pondasi, marilah kembali kepada keluarga dan menciptakan keluarga yang sebaik-baiknya,” ujar Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.