Penyebutan Presiden Sebagai Petugas Partai Menyalahi Prinsip Demokrasi
Presiden RI, Joko Widodo dan Capres PDIP, Ganjar Pranowo selalu disebut sebagai petugas partai oleh Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny Januar Ali mengungkap data dari lembaba survei miliknya. Berdasarkan hasil jajak pendapat terkini, mayoritas publik tidak setuju dengan prinsip presiden sebagai petugas partai.

“Mayoritas publik tidak setuju dengan prinsip presiden sebagai petugas partai, kata Denny JA dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, dilansir Antara, 7 September.

Berdasarkan survei LSI Denny JA pada periode Agustus 2023, hanya sebanyak 16,8 persen responden yang menyatakan setuju dengan prinsip presiden sebagai petugas partai.

“Tapi mayoritas sebesar 71,6 persen menyatakan ‘Kami tidak setuju dengan prinsip presiden sebagai petugas partai’,” kata dia.

Menyatakan presiden sebagai petugas partai, menurut Denny, tak hanya menyalahi prinsip demokrasi, tapi juga tak tertulis dalam konstitusi. Mengapa presiden tidak pantas disebut sebagai petugas partai padahal dia diusung oleh partai saat pemilihan presiden? 

Selesai Sampai Pencalonan Presiden

Frasa presiden adalah petugas partai pertama kali dipopulerkan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Istilah ini kemudian mengundang kritik dari banyak pihak. Namun, Megawati tak acuh pada kritik yang ditujukan kepadanya.

Dia punya alasan kuat mengapa sampai harus mengeluarkan kalimat tersebut. Menurut Presiden kelima RI tersebut, karena partainya-lah yang mencalonkan pertama kali Presiden Jokowi untuk berlaga di Pilpres 2014.

“Bahwa calon presiden itu apa sih, diusung oleh satu partai atau beberapa partai. Orang itu jelas lho, kok saya yang di-bully. Tidak boleh menyebut kader petugas partai, saya bilang Pak Jokowi petugas partai hayo mau di-bully lagi, wong yang mencalonkan saya,” ujar Megawati saat meresmikan Raya Mangrove di Surabaya pada 26 Juli lalu.

Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad menilai ungkapan bahwa presiden adalah petugas partai cukup menggelitik dan rancu. Menurut Andriadi, meski partai mencalonkan presiden, namun ‘tanggung jawab’ calon presiden terhadap partai berhenti setelah dia terpilih dalam Pilpres. Setelah itu, partai harus menghibahkan kader terbaiknya kepada negara.

Capres 2024 dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto. (Antara/Sigid Kurniawan)

“Presiden adalah pimpinan tertinggi di negara. Jadi kalau ada anggapan presiden adalah petugas partai itu menggelitik dan rancu. Seharusnya presiden adalah pelayan rakyat,” kata Andriadi ketika dihubungi VOI.

Ungkapan bahwa presiden merupakan petugas partai dikatakan Andriadi adalah bentuk ketidakdewasaan parpol. Menurutnya, partai seharusnya legawa ‘menyerahkan’ calon yang diusungnya kepada negara ketika dia terpilih dalam Pilpres, karena tugas parpol selesai sampai pencalonan.

“Ini adalah sikap ketidakdewasaan dan ketidaklegawaan parpol. Dalam undang-undang memang yang bisa mencalonkan presiden adalah partai. Tapi setelah itu tugas parpol selesai. Setelah terpilih, maka seharusnya presiden dihibahkan kepada negara, bukan lagi milik partai,” Andriadi menerangkan.

Bisa Jadi Bumerang

Lebih lanjut Andriadi menerangkan, istilah presiden adalah petugas partai yang populer belakangan ini membuat situasi menjadi tidak sehat. Hal ini membuat presiden seolah-olah menjadi sandera partai politik.

“Ini tidak sehat. Pemimpin itu pelayan rakyat, bukan pelayan partai politik. Ketika kader menjadi pimpinan, harusnya parpol menghibahkan, supaya presiden memiliki kebebasan. Yang terjadi sekarang seolah-olah menjadi sandera partai politik,” Andriadi melanjutkan.

Untuk itu, Andriadi beharap tidak ada lagi istilah presiden adalah petugas partai seusai Pilpres 2024.

“Semoga pada 2024 tidak ada istilah presiden adalah petugas partai. Presiden adalah petugas rakyat dan parpol harus dewasa. Jangan naif dan mengklaim bahwa presiden adalah petugas partai. Sehingga, bangsa ini ke depannya menjadi lebih baik," kata Andriadi.

Sementara itu, Denny JA mengatakan istilah petugas partai bisa menjadi bumerang untuk PDI-P pada Pilpres 2024. Pada Mei lalu, hasil jajak pendapat LSI memperlihatkan elektabilitas capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mengungguli dua pesaingnya, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Anies Baswedan diusung Partai Nasdem sebagai Capres 2024. (Antara/Syaiful Hakim)

Prabowo dianggap paling mencitrakan sosok strong leader yang diyakini mampu menumbuhkan ekonomi. Selain itu, istilah petugas partai yang melekat pada diri Ganjar juga disebut menjadi salah satu alasan elektabilitas eks Gubernur Jawa Tengah ini tidak sebaik Prabowo.

Image atau sebutan petugas partai sedikit banyak mengurangi sosok strong leader yang dialamatkan ke capres-capres yang ada,” kata Peneliti LSI Denny JA, Adrian Sopa, dalam tayangan YouTube LSI Denny JA pada Mei lalu.

“Istilah petugas partai melemahkan figur Ganjar di hadapan Prabowo yang pendiri dan ketum partai,” ujar Ardian.