Menakar Berapa Seharusnya Harga Jual Produk Green Diesel D-100 di Indonesia
Ilustrasi. (Foto: Kemenperin)

Bagikan:

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) telah berhasil mengolah Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100 persen yang menghasilkan produk solar hijau atau Green Diesel (D-100) standar Euro 5 yang ada di fasilitas eksisting Kilang Dumai. Produksinya mencapai 1.000 barrel per hari.

D-100 adalah jenis bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan. D-100 itu dibuat dari bahan baku RBDPO dengan menggunakan katalis merah putih sebagai produk anak negeri.

Bahan bakar nabati (BBN) itu merupakan hasil pengolahan RBDPO, yang 100 persen berasal dari minyak sawit mentah atau CPO yang diproses hingga hilang getah, impurities (kotoran), dan baunya.

Langkah Pertamina diapresiasi sebagian kalangan. Namun, ada pula yang mempertanyakan biaya pokok produksi bahan bakar ini, apakah ke depan dipasarkan dengan harga terjangkau ke masyarakat serta tak memerlukan subsidi negara.  

Founder PT FSC Oleo Chemical Riza Mutiara mengatakan, biaya produksi penting diperhatikan. Tujuannya adalah agar tidak membebani masyarakat dan negara dalam bentuk susidi ketika BBM ini mulai dipasarkan di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

"Sayangnya Dirut Pertamina Nicke Widyawati hingga saat ini tidak menyebutkan berapa biaya pokok produksinya D-100 per liter," ucapnya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 20 Juli.

Menurut Riza, bila harga produksi D-100 diasumsikan setara produk Pertamina Dex yang dibandrol dengan Rp10.200 per liter di SPBU, maka nilainya kemungkinan akan jauh di atas itu. Pasalnya, harga bahan baku RBDPO, katalis, dan biaya proses kilang yang lebih kompleks dengan menggunakan hidrogen yang banyak, menyebabkan biaya produksinya lebih mahal.

"Karena untuk memproduksi D-100, sebelumnya CPO di proses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang, di refinery mulai dari preheating, mixing dengan phosphoric acid dab activated clay, acid reaction, mixing, heating sampai dengan polish filtering, yakni melalui 15 peralatan," ucapnya.

Riza mengatakan, CPO refinery menghasilkan 94 persen RBDPO dan 5 persen Palm Fatty Acid Distilate (PFAD), maka semakin besar kapasitas akan semakin murah biaya produksinya.

"D-100 Petamina memakai katalis mp (merah putih) juga tidak diketahui berapa harganya.

Dari data2 harga bahan baku CPO RM 2500 per ton dan harga RBDPO 654.50 dolar AS per ton, maka kita bisa hitung berapa biaya produksi D-100, dan berapa harga jual," katanya.

Menurut Riza, hitungan ini perlu dilakukan agar Pertamina tidak perlu subsidi dari negara. Tak hanya itu, dengan hitungan tersebut juga dapat diketahui berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D-100 ke SPBU seluruh Indonesia.

Di sisi lain, kata dia, apabila RBDPO dilanjutkan ke proses fraksinasi akan dihasilkan olein atau minyak goreng 77 persen dan stearine 17 persen. Saat ini harga retail minyak goreng dalam kemasan sekitar Rp29.000 per dua kilogram (kg).

"Stearine diproses jadi mentega dijual retail 500 gram sekitar Rp12.500. Sehingga kalau CPO harganya naik di pasaran, tentu pertanyaannya apakah Pertamina bisa menjual minyak goreng dan mentega serta sabun cuci batangan untuk menghindari kerugian di penjualan D-100," katanya.

Tak hanya itu, dia juga menyebut, program D-100 juga perlu dibandingkan dengan B30. Pasalnya, B30 yang dapat diproduksi memakai bahan baku CPO, minyak goreng bekas, acid oil 100 persen, minyak limbah pabrik kelapa sawit (PKS), stearine dan lemak binatang yang dibangun oleh ratusan pengusaha berkapasitas kecil di setiap kabupaten untuk menekan biaya logistik.

"Tentu antara Kedua pilihan ini, apakah D-100 maupun biodiesel/fame akan mengalami kesulitan bila harga CPO naik yang membuat harus ada subsidi, sementara harga TBS (tandan buah segar) harus tetap dikenakan PPN dan ekspor CPO tetap dikenakan bea keluar, tentu petani sawit belum happy," ucapnya.

Riza menilai, dengan faktor tersebut seharusnya Pertamina bisa langsung memproduksi Synthetic Diesel Oil Euro 5 dengan bahan baku TBS, sampah plastik bekas, limbah pertanian, kayu, rumput gajah, ban bekas, batang sawit, bambu, janjang kosong kelapa sawit dan lowrank batubara.

"Padahal menurut hitungan kami, untuk memproduksi Synthetic Diesel Oil B100 Euro 5 dengan bahan baku langsung dari TBS bisa di jual dengan harga Rp4.000 per liter itu sudah termasuk keuntungan Pertamina," ujarnya.

Kalau itu dilakukan, lanjut Riza, maka akan membuat harga TBS menjadi Rp1.900 per kg, tentu akan menguntungkan petani sawit dan lingkungan hidup terjaga, serta defisit transaksi berjalan negara tertolong.

"Kajian keekonomian menjadi sangat penting dan menjadi kata kunci bagi Pertamina untuk menentukan sikap apakah memproduksi D-100 melalui RBDPO atau TBS," tuturnya.

Pertamina Menjawab Tantangan

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) menelurkan produk green diesel (D-100) hasil pengolahan Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100 persen di Kilang Dumai. RBDPO merupakan olahan minyak kelapa sawit (CPO) yang telah dihilangkan getah, impurities, dan baunya.

Produk Green Diesel didapatkan setelah melewati uji coba pengolahan produksi 2-9 Juli 2020, yang tercatat sebagai uji coba ketiga. Sebelumnya Pertamina menguji coba pengolahan RBDPO melalui co-processing hingga 7,5 persen dan 12,5 persen.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan, dengan keberhasilan penemuan green energy tersebut Pertamina menjawab tantangan untuk menyediakan energi yang lebih ramah lingkungan. Pertamina, kata Nicke, juga menjawab tantangan penyerapan minyak sawit yang saat ini produksinya mencapai angka 42 hingga 46 juta metrik ton dengan serapannya sebagai FAME (Fatty Acid Methyl Ester) sekitar 11,5 persen.

Pada saat yang bersamaan, Pertamina juga akan membangun unit Green Diesel di Kilang Plaju dengan kapasitas produksi sebesar 20.000 barel per hari.