Perilaku Konsumtif Masyarakat, Sampah Makanan Naik 20 Persen Setiap Ramadan
Sejumlah sapi di tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Alue Lim, Lhokseumawe, Aceh (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta masyarakat agar mengurangi sampah makanan seiring dengan adanya peningkatan timbulan sampah sisa makanan sekitar 20 persen setiap Ramadan. Naiknya sampah makanan dikarenakan perilaku konsumtif masyarakat.

"Kami mengajak masyarakat untuk menjadi contoh, mari kita lead by example dan juga menginspirasi mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang. Kita coba hijrah (kurangi sampah makanan) pada bulan Ramadan ini," kata Direktur Pengurangan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Sinta Saptarina Soemiarno dikutip ANTARA, Rabu 5 April.

Sinta menuturkan beberapa daerah telah melaporkan peningkatan timbulan sampah makanan, seperti Kota Padang yang meningkat 5 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan Kota Surabaya yang sejak awal Ramadan pengangkutan sampah naik 200 ton ke tempat pemrosesan akhir atau TPA.

"Jumlah penduduk yang terus meningkat turut berimbas terhadap peningkatan sampah dan sayangnya tidak diimbangi dengan pelayanan pengelolaan sampah yang memadai, sehingga TPA menjadi kelebihan kapasitas," katanya.

Menurut Sinta, timbulan sampah makanan yang naik sekitar 20 persen setiap Ramadan akibat perilaku konsumtif masyarakat yang lapar mata.

Perilaku konsumtif itu berpotensi meningkatkan jumlah makanan yang terbuang karena tidak habis dikonsumsi.

"Sebetulnya kalau sampah tidak terkelola, selain berdampak buruk bagi kesehatan makhluk hidup, juga berpotensi pencemaran dan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim," ujar Sinta.

Lebih lanjut dia meminta masyarakat agar aktif memilah dan mengolah sampah secara mandiri.

"Sampah rumah tangga yang berasal dari dapur atau meja makan dipilah agar sampah anorganik dan organik tidak tercampur," katanya.

Sampah anorganik bisa disetorkan kepada bank sampah di dekat rumah untuk mendapatkan imbalan hasil berupa uang, asuransi, dan sebagainya.

Sedangkan sampah organik sisa makanan diolah menjadi kompos atau disalurkan kepada tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) untuk dijadikan pupuk hingga biogas.

Ia mengatakan, apabila setiap rumah tangga mampu mengolah sampah sisa makanan secara mandiri, maka 10,92 juta ton sampah organik itu tidak akan berakhir di TPA.

Dengan demikian, menurut dia, aktivitas mengompos sampah sisa makanan bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 6,8 juta ton setara karbon dioksida per tahun.

"Kami mendorong masyarakat perumahan untuk bisa mengolah sampah makanan, karena sebetulnya kompos itu sangat mudah dan bermanfaat," pungkas Sinta.