Pemerintah Masukkan Pidana Kawin Paksa dan Perbudakan Seksual di RUU TPKS
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej/DOK VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah memasukkan soal perkawinan paksa dan perbudakan seksual di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Dari DPR ada lima, dan pemerintah menambah dua tindak pidana yakni perkawinan paksa dan perbudakan seksual," kata Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej dikutip Antara, Selasa, 22 Februari.

Lima usulan dari DPR yang dimasukkan ke RUU TPKS tersebut yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi dan penyiksaan seksual.

Sementara, dua tambahan dari pihak pemerintah yakni perkawinan paksa dan perbudakan seksual.

Khusus perkawinan paksa, Prof Eddy menyadari akan ada banyak pertentangan atau perdebatan yang muncul karena hal tersebut diatur atau dimasukkan ke dalam RUU TPKS.

Kemudian, untuk perbudakan seksual cakupannya akan lebih luas dari yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Wamenkum HAM menjelaskan Undang-Undang TPPO motifnya sudah pasti bermuara pada ekonomi. Sementara, dalam RUU TPKS orang yang bukan dalam konteks kepentingan ekonomi tetap bisa dijerat karena perbudakan seksual.

Terkait formulasi perbuatan pidana RUU TPKS, dibuat atau disusun oleh sumber daya manusia dari kejaksaan dan polisi yang telah berkecimpung dengan pidana kekerasan seksual.

Selain itu, dalam RUU TPKS juga mengatur hal yang baru yakni pembentukan Unit Pelaksanaan Tugas Daerah Pemberdayaan dan Pelindungan Anak (UPTD PPA).

UPTD PPA yang merupakan usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) wajib dibentuk di daerah jika RUU TPKS telah sah menjadi undang-undang.

"Jadi kalau ada korban kekerasan seksual, maka ditangani oleh UPTD PPA," ujarnya.