IDAI: Banyak Kasus COVID-19 Anak, Masih Mau Sekolah Dibuka?
Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan menyayangkan keputusan pemerintah mengizinkan pembukaan sekolah di daerah risiko COVID-19 dengan kategori zona hijau dan kuning.

Sebab, IDAI tidak pernah diminta pendapat oleh pemerintah saat membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) empat kementerian soal perizinan pembelajaran tatap muka di sekolah pada zona hijau dan kuning.

"Entah siapa yang mengizinkan pembukaan sekolah. Kami enggak pernah ditanya, baik IDAI daerah maupun pusat. Padahal, kami kan tahu siapa saja anak yang meninggal (akibat COVID-19) dan bagaimana kasusnya. Tapi, kami tidak ditanya," kata Aman dalam diskusi webinar, Senin, 17 Agustus.

IDAI menurutnya menolak pembukaan kembali sekolah, meskipun hanya pada daeah dengan risiko rendah, maupun tidak ada kasus COVID-19. Penentuan zonasi risiko COVID-19 dinilai masih punya celah. Intensitas penelusuran kontak (tracing) dan pemeriksaan (testing) tidak dilakukan secara merata di seluruh wilayah. 

"Ketentuan zonasi ini, kita tidak sepakat karena quality control kita tidak maksimal. Pernah ada satu zona yang dikatakan hijau, lalu saya telepon ketua IDAI-nya soal bagaimana keadaan zona ini. Ternyata, ada kasus baru," ujar Aman.

"Penentuan zona ini kan baru ada hasilnya dalam waktu seminggu atau dua minggu lalu. Padahal, data kasus COVID-19 kemarin bisa berubah lagi karena ini sangat dinamis," lanjut dia.

Aman memaparkan data kematian kasus COVID-19 anak berdasarkan usia. Sebanyak 10 persen kematian ada pada anak berusia 0 sampai 28 hari, 32 persen kematian pada anak berusia 29 hari sampai 1 tahun.

Kemudian 24 persen pada anak berusia 1 sampai 5 tahun, 14 persen pada usia 6 sampai 9 tahun, 20 persen pada anak berusia 10 sampai 18 tahun.

"Kasus kematian COVID-19 pada usia sekolah, dari 10 sampai 18 tahun ini juga termasuk banyak. Sebab, mereka ini anak yang enggak bisa diatur untuk pakai masker dan sebagainya. Terus, masih mau sekolah dibuka?" kata Aman.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem makarim menyebut tahapan keputusan pembukaan sekolah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka dimulai dari Satgas Penanganan COVID-19 yang memetakan daerah dengan karegori zona risiko penularan COVID-19.

Pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota kantor wilayah Kementerian Agama diberi wewenang mengambil keputusan terkait izin membuka kembali sekolah dan madrasah.

"Walaupun diperbolehkan, kalau pemda dan kepala dinas pendidikannya merasa belum siap, mereka tidak harus mulai pembelajaran tatap muka," kata Nadiem.

Bila pemda menyatakan kesiapan untuk melakuakn pembelajaran tatap muka, kereka akan bertanya kepada masing-masing kepala sekolah dan komite sekolah apakah sudah siap untuk membuka sekolah atau belum.

"Satu level lagi, bahkan kalau sekolahnya sudah siap dan mulai melakukan pembelajaran tatap muka, tapi kalau ada ornag tua siswa tidak memeprkenankan anaknya pergi ke sekolah karena masih tidak nyaman dengan risiko COVID-19, itu adalah prerogatif dari orang tua," katanya.

Sedangkan dari data per tanggal 3 Agustus lalu, ada 43 persen kabupaten/kota berstatus zona kuning dan hijau. Sementara, sisanya sebanyak 57 persen berstatus zona oranye atau risiko sedang dan zona merah atau risiko tinggi.

Semua sekolah di zona oranye dan merah masih dilarang melakukan pembelajaran tatap muka. Sekolah di zona tersebut tetap melanjutkan belajar dari rumah. 

Di zona hijau dan kuning, waktu mulai pembelajaran tatap muka paling cepat bagi SMA, SMK, MA, MAK, SMP, dan MTs adalah Juli 2020. Kemudian, waktu pembukaan sekolah paling cepat bagi SD, MI, dan SLB pada Agustus. Sementara, PAUD dibuka paling cepat pada Oktober.